Antara senang dan sedih ketika melihat orang tua mahasiswa berada di kampus. Senang karena orang tua ternyata masih menaruh perhatian kepada pendidikan anak mereka.
Sedih, karena kebanyakan mereka datang membawa permasalahan yang sedang dihadapi dan tidak dapat diselesaikan oleh anaknya sendiri.
Namun, ketika orangtua sudah masuk ke dalam ranah perkuliahan anak, yang tidak lain untuk membantu menyelesaikan permasalahan anaknya. Maka secara tidak langsung, kita (orangtua) justru menanamkan sikap mental ketergantungan anak kepada orangtua.
Biarkan mereka merasakan manis-pahit, jatuh bangun sendiri dalam mengarungi kehidupannya. Biarkan mahasiswa menyelesaikan permasalahannya sendiri.
Seorang mahasiswa, memang dituntut dan dilatih untuk hidup mandiri, mampu menyelesaikan permasalahnya sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain,termasuk orang tua.
Nanti, suatu saat pasti mereka akan menemukan jalan keluar. Dan saat mereka sudah menemukannya, maka pola pikir dan sikap kedewasaan sang anak (mahasiswa) akan muncul dan berkembang.
Orangtua yang datang ke kampus pun bermacam-macam alasannya. Mulai dari masalah akademik, finansi sampai hal yang bersifat pribadinya sang anak. “Kenapa sudah lama kuliah tidak kunjung selesai juga, Pak?” salah satu keluh kesah orangtua.
Tak jarang, mereka meminta agar kedatangan mereka ke kampus dirahasiakan dan tidak diberitahukan kepada anaknya. Ya, dengan harapan agar tidak membuat “malu” anaknya. Atau setidak-tidaknya agar anaknya merasa tidak sedang dimata-matai oleh orangtuanya.
Terkadang, karena anaknya kuliah di luar kota, dan tidak pernah pulang ke rumah (kecuali kalau libur lebaran), meskipun kuliah belum kelar namun ongkos bulanan masih lancar. Memang, walaupun tidak semua mahasiswa seperti itu.
Seperti kata pak Giri, hanya mahasiswa yang masihsiswa-lah yang memiliki permasalahan, namun tidak mampu untuk menyelesaikannya sendiri.
Dalam batin saya sendiri, timbul rasa kasihan dan iba kepada orangtua mahasiswa. Mengapa sudah segedhe sekarang ini, masih saja melibatkan orang tua.
Mengapa tidak henti-hentinya sang anak membuat repot orangtua. Sejak masih dalam kandungan, lahir menjadi bayi, dan tumbuh sebagai anak-anak yang lucu dan unyu-unyu, bahkan sampai dewasa (kuliah) masih saja orang tua yang harus bertindak.
Saya pribadi melihat, mahasiswa sekarang dengan mahasiswa zaman dulu sudah berbeda jauh. Bahkan, jauh sekali. Meskipun hidup dalam masa-masa sulit, namun hal itu tidak menghalangi niatnya untuk mencari ilmu.
Sekarang, meskipun fasilitas sudah relatif sangat bagus, sarana belajar pun tidak seperti dahulu. Namun belum saya liat antusiasme belajar seperti mahasiswa angkatan-angkatan dahulu.
Kembali pada orangtua mahasiswa. Pernah suatu ketika di selasar gedung, terlihat orang tua yang duduk sambil melihat dan meratapi print out hasil studi anaknya. “Mengapa ini bisa terjadi? Apa saya salah selama ini dalam mendidik anak?”, kira-kira seperti itu-mungkin-lamunan mereka yang aku tangkap lewat raut wajahnya.
Akhir kata, saya teringat akan pesan dari Prof. Rhenald Kasali disalahsatu buku “30 Paspor di Kelas Sang Profesor“. Kekangan orangtua terhadap sang anak bisa yang menjadikan sang anak tidak dapat leluasa bergerak. Kekangan disini tidak selalu diartikan hal-hal yang negatif.
Namun, kekangan bisa juga berupa fasilitas hidup, kenyamanan hidup yang menjadikan anak-anaknya tidak bisa beradaptasi dan berjuang menghadapi ganasnya kenyataan hidup.
Wahai orangtua, jangan kau kodi sayap anak-anakmu, lepaskan mereka supaya mampu terbang tinggi. Biarkan mereka menjadi rajawali di angkasa.
Sesekali biarkan mereka terjatuh lalu berdiri sendiri. Agar mereka dapat merasakan sakit dan getirnya hidup. Sehingga mampu menjadikan mereka berhati-hati tatkala terbang tinggi.
Kudus, 2015.03.14