Bulan Agustus, Bulan Nasionalisme

Dibulan Agustus ini, sepanjang perjalanan selalu terlihat bendera merah putih berkibar di pinggir jalan, halaman rumah, bahkan sampai ke dalam ruangan. Ukurannya pun bermacam-macam, mulai dari yang paling kecil, terbuat dari plastik.

Sesekali terlihat anak kecil membawa bendera plastik tersebut sembari mengejar sepeda temannya yang terhias pernak-pernik merah putih juga. Sampai ukuran bendera segedhe gaban yang dipegang dua orang saja masih sempoyongan.

 

Seniman dadakan, tampil dengan karya jalanannya

Jalan desa pun semakin nampak jelas tanda garis putih. Tak ketinggalan kata-kata semangat menyambut Agustusan inipun terlukis ditengah-tengah jalan. Namun, sesekali anak muda pun mengungkapkan ekspresinya di jalan tersebut. “Akbar Cinta Meta” ada juga “Neng, kutunggu dirimu di ujung jembatan”, atau pun kreativitas menciptakan kata.

Kantor pemerintah maupun swasta terlihat turut memasang bendera yang besar disetiap atap bangunan seluas mata memandang. Sesekali, masih nampak kalau bendera tersebut masih baru, karena baru kemarin dibeli dari pedagang musiman yang menjajakan dagangan bendera di pinggir sepanjang jalan umum.

Perusahaan level teri sampai kelas kakap, satu bulan kemarin sudah mulai kebanjiran proposal permohonan bantuan dana untuk kegiatan tujuhbelasan ini. Bahkan, ada yang cerita, sudah indent proposal dari tahun kemarin agar dapat nomor antrian pertama harapannya agar jatah dana yang lebih besar bisa diraihnya.

Tak ketinggalan, televisi pun membalut acara tayangannya dengan semangat 17 Agustus, spesial hanya untuk menyambut hari kemerdekaan bangsa ini. Kisah pejuang veteran dan konser kebangsaan pun sudah direncanakan sejak awal mula.

 

Lomba 17-an

Pengumuman tentang lomba sudah tersebar, mulai dari lomba gerak jalan, lomba joget Bang Jali, panjat pinang. Lomba makan kerupuk, memasukkan pensil ke dalam botol bahkan lomba keagamaan yang biasanya ditampilkan saat hari besar keagamaan turut ditampilkan di bulan Agustus ini.

Antara lain seperti lomba adzan, lomba qiro’ah maupun lomba kaligrafi. Lomba boleh diikuti anak-anak hingga kakek-nenek. Tragisnya, pengumuman tersebut tertempel berderet-deret di gang yang sama, gang tempat yang seriing aku lewati.

Pelaksanaannya sama, 17 Agustus semua, cuma beda waktunya saja. Ada yang dilaksanakan pagi hari buta saat sang ayam baru keluar dari sarangnya, siang saat panasnya mentari diatas ubun-ubun, sore bahkan malam hari saat ayam sudah kembali ke kandangnya lagi.

Bagi diriku sendiri, meskipun sejak lama sudah hafal lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Namun masih saja, lagu tersebut aku jadikan nada dering di HP mungilku. Bukan karena memperingati 17 Agustus lho, namun karena sudah lama aku terinspirasi oleh semangat nasionalisme dari sang guru, Romi Satrio Wahono.

Kalau di bulan Agustus sih banyak orang yang memahaminya. Namun dibulan-bulan lainnya, bulan selain Agustus, rasa aneh yang nampak di wajah orang yang mendengar lagu Indonesia Raya tersebut menerabas keluar dari handphone aku, yaitu ketika ada sms ataupun panggilan masuk.

 

Hanya Euforia Sementara

Namun sayang seribu sayang, akankah euforia kemeriahan dan keindahan ini hanya akan nampak di bulan Agustus ini saja? Akankah semangat nasionalisme kita hanya terbatas di bulan Agustus saja?

Bulan kemerdekaan bangsa Indonesia, meskipun banyak yang bilang kita benar-benar belum merdeka. Belum merdeka dari kebodohan, kemiskinan. Dan bahkan, ada yang bilang belum bisa merdeka dari istri tua.

“Semoga saja keriuhan dan semangat nasionalisme kemerdekaan ini dapat kita rasakan setiap saat.”

Bagi aku sendiri, agaknya memang lebih mudah menjelaskan apa itu arti kata nasionalisme  hanya pada bulan Agustus ini saja, selebihnya silahkan dipikir sendiri.

Harapan aku, semoga saja keriuhan dan semangat nasionalisme kemerdekaan ini dapat kita rasakan setiap saat. Tidak hanya dibulan ini saja, bulan Agustus. Namun juga di sebelas bulan lainnya.

(Kudus, 2015.08.17)