Peduli

Suatu pagi yang cerah, saat mentari masih malu menampakkan sinarnya. Kuliah pun tidak ada jadwal, Si Entong duduk tercenung sembari melamun didepan rumah. Datang Emak menghampirinya seraya menaruh segelas kopi panas.

Saking panasnya kepulan asap masih keluar dari gelasnya. Gelas kuno, hadiah dari Simbah. Gelas yang terbuat dari porselin yang bercorak aneka bunga, persis seperti peninggalan zaman Belanda.

“Tong, kenapa kamu melamun? Tar kerasukan setan lho…” Suara Emak yang seketika itu memecah lamunan Entong.

“Kamu pingin kawin? Sabar tahun depan ya. Tahun ini kan masih tahun dudo”, lanjut tanya Emak saat kursi kayu yang terbuat dari bambu itu diduduki Emak.

“Ah Emak, bikin kaget aja. Aku kangen Mak”, jawab Entong dengan wajah manjanya.

“Kalau kangen ya, obatnya ketemu. Yen sudah ketemu kangene hilang”.

“Tapi aku ewoh Mak, gak enak sama Simbah. Tiap kali aku kesana, pulangnya pasti di kasih uang saku.”

“Gak usah ewoh. Gak usah malu. Kenapa? Wong kamu sudah besar kog masih malu-maluin”.

“Lha justru karena itu Mak, karena aku sudah gedhe seperti sekarang ini, aku malu jika dikasih uang saku. Dulu sih ndak pa2, saat masih kecil dikasih uang saku, senangnya minta ampun”.

“Tong, Emak kasih tau nih ye. Jika kamu datang ke tempat orang, dikasih jajan atau pun tidak, dikasih uang saku ataupun tidak. Meskipun kamu datang hanya duduk-diam-domblong, itu menandakan bahwa kamu itu suka, kamu itu peduli, dan kamu itu masih inget dengan yang punya rumah”.

“Iya Mak, tapi masalahnya bukan itu.”

“Lha teroooosss…”

“Masalahnya uang sakunya itu lho Mak. Sejak kecil sampai segede ini kog masih dikasih sewu. Isin aku Mak. Mbok yao 50 atau 100rb gitu lho. Wong wes gedhe kog jeh sewu”.

“Halah… Tong…. Tong… Ngono kog mbok urusi… Diminum ki kopine… Ben kwe sadar yen kwe ncen golek duwit ki pancen angel”.

***

Kudus, 2016.10.15