Maaf Kawan, Saya Masih Banyak Hutang

Seperti biasanya, setiap pagi setelah bangun tidur saya selalu menyempatkan diriku untuk melirik membaca buku di perpustakaan mini.

Mini- karena ukurannya lebih kecil dari kata kecil. Kedepan, akan saya gunakan sebagai taman baca bagi tetangga dekat yang ingin mencari ‘tambahan ilmu’ disana.

Perpustakaan yang terdiri dari beberapa baris tumpukan buku tersebut baru mulai saya bangun sedikit demi sedikit.

Secara perlahan-lahan, saya harus bisa mengkhatamkan (menyelesaikan membaca) buku tersebut. Tak lupa saya pun harus bisa menyemangati diri saya sendiri untuk sesegera mungkin membuat resensi buku tersebut.

Dengan harapan agar saya bisa lebih mudah dalam memahami isi dan makna buku tersebut di kemudian hari.

Tapi anehnya tiap bulan, atau tiap minggu ada saja buku baru yang terselip di dalamnya. Padahal buku lama belum kelar bacanya. Bagaimana bisa menyelesaikan membaca buku-buku tersebut kalau ada buku baru.

Apa mungkin saya telah tersihir oleh sang pengarang? Sehingga tak masalah beberapa lembar lima puluhan ribu masuk ke kotak kasir di sebuah toko buku demi mendapatkan bukunya.

Atau mungkin saya sendiri yang telah mengalami kelainan jiwa. Kelainan yang menunjukkan bahwa, “ada sesuatu yang tidak beres”. Pokoknya harus beli buku. Walau belum selesai dengan buku yang dibaca, sudah beli buku baru.

Saya termasuk orang yang telmi –telat mikir– Membaca satu buku saja lama banget. Harus diulang-ulang baru paham isinya.

Berkali-kali saya pun harus membatalkan acara ajang ketemuan rutin dengan teman-teman satu geng. Tak lain dan tak bukan untuk menyelesaikan misi pribadi, untuk membaca dan menghabiskan list buku baru tersebut.

Maafkan saya kawan, saya masih punya banyak hutang. Masih banyak buku yang harus aku baca.

Kudus, 2014.12.04