Dusmin: Bukti Awal Kegagalan Kepemimpinan (1)

Awan mendung menyelimuti langit yang cerah pada sore itu di sebuah desa terpencil. Desa yang jauh dari hiruk-pikuk dan hingar-bingar perkotaan. Adalah Dusmin, seorang pekerja salesman yang baru pulang kerja dari kantor tempat ia bekerja.

Setelah melepas sepatu dan melempar tas kerja yang dimiliki satu-satunya, ia pun disambut Tukiyem. Istrinya yang masih muda cantik rupawan nan gemolek tubuhnya. Dengan membawa secangkir air putih untuk pelepas dahaga, ia pun menghampiri suami tercinta.

“Ini Pakne, diminum dulu. Biar hilang lelah dan capeknya”, kata Tukiyem menyerahkan segelas air putih dengan bahasa tubuh yang genit.

“Wah, Bune ini lho, memang istri sholehah. Seperti lagunya bang haji Roma Irama.. hehe”, rayu Dusmin kepada istrinya. Sambil ngarep nanti malam bisa indehoy berdua.

“Bagaimana tadi kabarnya di kantor Pakne? Ada kabar baru apa? Ada kabar kenaikan gaji atau promosi?”, tanya Tukiyem yang terus mengalir seperti air terjun.

“Mana mungkin ada kenaikan gaji, apalagi promosi Bune. Lha wong pimpinannya aja kayak gitu”, jawab Dusmin sambil meletakkan gelas di meja yang ada di depannya.

“Kayak gitu gimana tho pak?”, sahut Tukiyem penasaran. “Kayaknya nih pimpinan, di awal-awal dia mimpin aja sudah gagal bu”

“Kog bisa?”, Tukiyem pun tambah penasaran.

“Ya Iya. Bisa saja. Lha wong dia sudah mencla-mencle kog, istilahnya gaulnya Inkonsisten. Hasil rapat satu bulan yang lalu sudah disepakati nanti kita akan ke puncak Bogor. Namun ada syaratnya, omset penjualan harus meningkat, jumlah pelanggan harus bertambah dan yang pasti pelayanan purna jual harus memuaskan pelanggan.”

“Lha ini, Omset penjualan sudah meningkat, pelanggan pun bertambah, servis pelayanan sudah tokcer abis. E…e..e.. tiba-tiba saja dia memutuskan sepihak tidak jadi ke puncak Bogor.”

“Lha emang mau kemana pak? Apa mau ke Taman Mini, ikut hadir memeriahkan Kompasianival?”

“Mending kesana bu. Nanti bisa ketemu PakDe Kartono dan temen-temen Kompasianer lainnya.”

“Lha ini menjelang musim hujan, malah ke pantai. Ndak masuk akal…”, terangku sambil memoncongkan bibir.

“Lho kog bisa?”, pertanyaan Tukiyem yang tambah ceriwis aja.

“Aku denger-denger sih, si Bos terpengaruh oleh bisik rayu kanan-kirinya. Kayak orang ndak punya pendirian aja. Katanya, lebih enak ke pantai daripada ke puncak. Nanti di pantai sana ada bule-bule yang sedang berjemur, bisa lihat orang renang yang pake bikini.”

“E… gitu tho alasannya. Awas ya Pakne, yen matanya  lirak-lirik ke kiri dan kanan. Bisa-bisa nanti aku ganti kacamata yang Pakne pake dengan kacamata Kuda. ”

“Mending kalau ke Pantai, ndak usah ikut. Minta ganti mentahannya aja. Nanti uangnya bisa buat beli gelang dan kalung pak. Biar koleksiku bertambah, ndak cuma ini saja. Malu aku.”

***

Kudus, 2014.11.14