Biyungku Adalah Ibuku

Pagi itu, seperti biasanya, aku diantar berangkat ke sekolah naik sepeda motor oleh ayahku. Sekolah tempatku bermain selalu ramai anak-anak kecil se usia ku. Penuh gambar kartun yang berwarna-warni di setiap tembok. Di Playgroup ini, aku lebih sering bernyanyi dan mewarnai.

Sekitar jam 1 siang saat pulang, yang menjemput bukan ayah atau ibu. Karena mereka masih bekerja. Ibuku bekerja di sebuah bank swasta. Sedangkan ayahku seorang sales marketing yang sering berkeliling keluar kota.

Seperti biasa, aku dijemput biyung ku. Khotijah namanya. Dia sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Entah kenapa, kalau bersama biyung hatiku kog tenang sekali.

Dengan sabar biyung mengganti bajuku sesampai di rumahnya. Kadang aku pun berontak tidak mau ganti baju, benar saja, lha wong masih asik bermain dengan mobil yang baru dibelikan biyung tempo hari.

“Arga, ayo ganti baju dulu. Nanti kotor lho bajunya. Kalau kotor, besok ndak bisa berangkat sekolah,” bujuknya.

“Ndak mau, ndak mau, ndak mau!” jawabku dengan nada rendah perlahan-lahan nadanya berubah menjadi agak tinggi.

Biyung pun tak kehilangan akal untuk dapat membujuk agar aku mau ganti baju.

“Kalau bajunya kotor, besok ndak bisa berangkat ke sekolah. Kalau ndak berangkat ke sekolah, besok ndak ketemu dengan biyung”, rayu Khotijah sekali lagi.

Akhirnya tanpa kata, dan dengan ekspresi wajah yang masih cemberut, akupun datang menghampirinya. Karena takut jika besok tidak bisa bermain di rumah biyung.

Kaos berwarna kuning bergambar Thomas Kereta Api adalah baju favoritku. Baju itu biasanya yang digunakan senjata jika aku tidak mau ganti baju.

Aku bermain di rumah biyung tidak sendirian. Ada anak semata wayang biyung yang berumur 10 tahun lebih tua dari aku. Saat bermain dengan Ali, aku lihat biyung sering memasak, membersihkan rumah, ataupun pekerjaan rumah lainnya.

Saat menemani aku bermain, Ali terkadang sambil membaca buku. Sesekali aku lihat, ternyata bukunya kurang menarik. Tidak ada gambarnya sama sekali. Tidak berwarna. Hanya penuh dengan huruf-huruf yang belum aku mengerti.

Saat sore, ayah Ali baru pulang. Kepulangannya sering bersamaan disaat aku mandi bersama Ali. Tak jarang mainan aku ajak mandi sekalian.

Saat mau ganti baju, aku tidak mau. Aku masih senang memakai Kaos berwarna kuning bergambar Thomas Kereta Api.

Setelah itu, aku berlomba makan dengan Ali. Siapa yang cepat selesai, dialah yang menang. Walaupun aku lebih sering menang, tapi tidak ada hadiah apa-apa. Paling-paling hanya tepuk tangan dari Ali.

“Hore, Arga juara. Pinter ya Arga…”, sorak Ali sambil bertepuk tangan

Agaknya Ali memang sengaja mengalah dan membiarkan aku menang.

Aku bermain di rumah biyung terasa sebentar. Mulai siang sampai malam hari. Kira-kira selepas sholat isya’ orang tuaku datang menjemput.

Setelah dijemput ayah, motor merahnya pun melesat melaju menyusuri jalan yang sudah mulai dingin kurasakan di tubuhku.

Sesampainya di rumah, biasanya langsung bersiap-siap untuk tidur.

“Arga, ayo cuci kaki terus tidur. Besok berangkat sekolah lagi lho ya…” suruh ayahku.

Ya, aku lebih sering tidur sendirian. Karena ibu ku belum pulang. Masih lembur, begitu kira-kira ayah bilang.

Aku pun tidur di kamar masih dengan kaos berwarna kuning bergambar Thomas Kereta Api. Sedangkan di ruang sebelah, terdengar suara televisi masih menyala. Seperti biasa, pasti ayah masih asik melihat berita.

***

Kata biyung, aku adalah anak pinter, ganteng, sholeh, pemberani, mandiri, tidak suka menangis. Dan masih banyak gelar yang aku peroleh dari biyungku Khotijah.

***

Kudus, 2014.12.12